Hadits merupaan sumber hukum Islam
setelah al Qur’an. Hadits menjelaskan Al Qur’an dari berbagai segi, menjelaskan
ibadah dan hukum yang bersifat global dan menguraikan hukum-hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit di dalam al Qur’an. Dengan demikian, hadits
merupajkan tuntunan praktis terhadap apa yang dibawa oleh Al Qur’an, terkadang
merupakan amalan yang tidak ditentang oleh Nabi tetapi hanya diam atau justru
melihat baik ( taqdir )
Pentingnya hadits dalam menetapkan hukum
mengharuskan para ulama lebih teliti dan hati-hati dalam mengutip hadits. Oleh
karena itu, untuk menelusuri keadaan suatu hadits maka lahirlah suatu ilmu yang
mempelajari hadits yang di sebut Ulumul
Hadits. Dalam ulumul hadits akan dikaji dan dibahas bagaimana kaidah-kaidah
untuk mengetahui keadaan perawi, matan, sanad suatu hadits dar segi diterima
atau ditolaknya hadits tersebut.
Didasari pada pentingnya pembahasan
tentang hadits, makalah ini bertujuan untuk mengkaji secara singkat tentang hakikat
hadits, cara mempelajari hadits, fungsi hadits atau kegunaan suatu hadits dapat
memberi konstribusi tentang pembahasan hadits.
Pengertian Hadits
Secara bahasa hadits berarti
perkataan, percakapan, kabar, cerita dan yang baru.[1]
Atau tiap bahan pembicaraan yang
termasuk perkataaan ( kalam )) dan berita (khabar).[2]
Pemakaian kata hadits dengan makna jidid ( yang baru ), atau qarib ( yang dekat
) digunakan dalam bentuk kata sifat. Dalam bahasa Arab hadits berasal dari kata
hadatsa, yahdutsu, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata
tersebut dapat berarti al- Jadid min al- asy ya’, sesuatu yang baru, sebagai
lawan dari kata al Qadim yang artinya sesuatu yang kuno atau klasik. Penggunaan
kata al hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadits
al-bina dengan arti jaded al bina artinya bangunan baru.[3]
Selanjutnya, hadits dilihat dari segi
istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal in antara lain disebabka
karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat
suatu masalah. Para ulama hadits berpendapat
bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara
ulama hadits lainnya seperti al-Thiby berpendapat bahwa hadits bukan hanya
perkataan, perbuatan, ketetapan asulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataa,
perbuat, ketetapan para sahabat tabi’in.[4]
adapun menurut Syarah al- Bukhari seperti dikutip oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy
hadits adalah :
“ segala ucapan Nabi, segala pebuatan
beliau dan segala keadaan beliau”.”[5]
Ulama ahli ushul fiqh berpendapat
bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan rasulullah SAW yang
berkaitan dengan hukum. Sedangkan ahli fiqh mengidentifikasikan hadits dengan
sunnah, yaitu sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan apabila
dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak aka disiksa.
Dalam kaitan ini ulam ahli fiqh berpendapat bahwa hadits adalah sifat syar’iyah
untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan
melaksanakannnya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang
mengerjakannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Dalam pembahasan hadits, ada beberapa
istilah lan yang digunakan untuk menunjukkan penyebutan suatu hadits, seperti
al-sunnah, al-akhbar, dan al-atsar.
Secara bahasa sunnah berarti jalan
yang dijalani, terpuji atau tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan,
dinamai sunnah, walaupun tidak baik.[6]
Menurut istilah,
“ Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan ( diterima
) dari rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau
akhlak, atau kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, seperti
tahanuts yang beliau lakukan di gua Hira’, atau sesudah kerasulan beliau”.”[7]
Secara bahasa khabar berarti
al-naba’, yaitu berita atau warta berita yang disampaikan dari sesorang kepada
seseorang.[8]
Sedangkan menurut istilah, terdapat tiga pendapat, yaitu :
a.
Khabar adalah sinonim dari
hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan,
perbuatan, taqrir dan sifat.
b.
Khabar berbeda dengan
hadits. Hadits adalah sesuatu yang dating dari Nabi SAW. Atas dasar pendapat
ini, mak seoang ahli hadits atau ahli sunah disebut dengan muhaddits, sedangkan
mereka yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut dengan
akhbari.
c.
Khabar lebih umum dari
pada hadits. Hadits adalah sesuatu yang muncul dari Nabi, sedangkan Khabar
adalah sesuatu yang dating dari Nabi SAW atau selain Nabi ( orang lain ).[9]
Secara bahasa Atsar berarti baqiyyat
al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan sesuatu.[10]
Sedangkan secara istilah terdapat dua paendapat, yaitu:
- Atsar adalah sinonim dari hadits, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.
- Pendapat kedua menyatakan, atsar adalah berbeda dengan hadits.[11] Atsar secara istilah menurut pendapat kedua ini adalah :
“ Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’in
yang terdiri atas perkataan dan perbuatan “.
Adapun yang lazim dan sering dipakai
adalah istilah hadits sebagaimana dalam ayat alqur’an lebih banyak menggunakan
kata hadits. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an
“ Allah telah maenurunkan perkataan yang paling baik (
yaitu ) al Qur’an…….” ( az Zumar : 23 )
Bentuk – bentuk
hadits
Secara garis besar hadits dibagi
menjadi tiga bentuk yaitu : hadits qauli,
hadits fi’li, dan hadits taqriri.
- Hadits Qauli
Yang dimaksud dengan hadits ini yaitu segala bentuk
perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain,
hadits tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan
dengan aspek akidah, syari’ah, maupun akhlak.[12]
Contoh hadits qauli
“ Sebaik-baiknya kamu, adalah yang belajar al
Qur’an dan mengajarkannya kepada orang
lain”. ( H.R. Bukhari )
Hadits qauli dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu :
- yang pasti benarnya, seperti apa yang dating dari Allah, Rasul-Nya dan hadits yang diberikan denga jalan mutawatir
- yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenakan oleh akal, seperti khabar hidup dan mati dapat berkumpul. Atau khabar yang betentangan denga ketentuan syari’at, sepeti mengakui menjadi Rasul yang tidak ada kenyataan mukjizat.
- Khabar yang dapat dipastikan benar bohongya seperti khabar-khabar yang samara, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya tetapi tidak pasti (qath’i), seperti dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasiq.
- Hadits Fi’li
Yang dimaksud dengan hadits fi’li, adalah segala perbuatan yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perbuatan
Nabi SAW yang menjadi panutan prilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi
keharusan bagi semua ummat untuk mengikutinya.[13]
Contoh hadits fi’li :
“Nabi SAW shalat di atas
tunggangannya, ke mana saja tunggangannya itu mengahadap”. (H.R. Mutafaq ‘Alaih
)
Hadits fi’li dapat dibagi kepada
beberapa bagian yaitu :
a.
Pekerjaan
Nabi SAW yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti
bernafas, duduk berjalan, dsb. Perbuatan semacam ini tidak tersangkut paut
dengan soal hukum dan tidak ada hubungannya dengan suruhan, larangan atau
tauladan.
b.
Perbuatan
Nabi yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan, tidur dan sebagainya
c.
Perbuatan
nabi yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan puasa dengan tidak
berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh
mengkutiya
d.
Pekerjaan
yang bersifat hukum yang mujmal, seperti: shalat dan hajinya
e.
Pekerjaan
yang dilakukan terhadap orang lain sebagai hukuman : seperti meahan orang, atau
mengusahakan milik orang lain
f.
Pekerjaan
yang menujukkan kebolehan saja, seperti berwudlu dengan satu kali, dua kali dan
tiga kali.
- Hadits Taqriri
Yang dimaksud dengan hadits ini ialah
yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang dating atau yang dilakukan
oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan sesuatu perbuatan
yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan , apakah beliau
membenarkan atau memersalahkannya.
Contoh hadits Taqriri, ialah sikap rasul
membiarkan para sahabatnya dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu
peperangan, yang tersembunyi :
“ Janganlah seorangpun shalat Asha
kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (H.R. Bukhari)
Maka perkataan atau perbuatan yang
didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan pebuatan nabi sendiri, yaitu dapat
menjadi hujjah bag ummat seluruhnya. Seperti yang terdapat dalam syarat taqrir
ialah orang yang di biarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’,
bukan orang kafir atau munafiq.
Baik sobat semua,…lain waktu kita sambung lagi
ya…..
[1].Ahmad Warson Munawwar, Kamus
Al Munawwir (Yogyakarta : Badan Pengadaan buku-buku ilmiah Pon-pes Krapyak,
1984), h. 261
[2].Ibrahim Anis et. Al., al
–Mu’jam al – Wasit, juz 1 (Beirut
: Dar al Fikr, tt), h. 160
[3] .Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam ( Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 234
[4] . Ibid , h. 236
[5] . M. hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta : Bulan Bintang, 1954), h. 22
[6] . Ibid, h. 24
[7] . Nawir Yuslem, Ulumul Hadits,
( Jakarta :
Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 41
[8] . M. Hasbi as Shiddieqy…h. 45
[9] . Nawir Yuslem…h. 45
[10] . Ibid
[11] . Ibid, h. 46
[12] . Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadits, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 12
[13] . Ibid., h. 13-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar