Keinginan
ummat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman
kolonial Belanda. Semangat ini
sebagaimana tercantum dalam kongres II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang
diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939 dihadiri oleh 25 organisasi Islam
anggota MIAI. Salah satu agenda pembahasan kongres itu adalah Perguruan Tinggi
Islam dan anggota kongres menyetujui pembentukan Perguruan Tinggi Islam.
Setelah kongres itu selesai, didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang
dimulai dari tingkat menengah dengan nama IMS (Islamische Midilbare School)
dan tutup pada tahun 1941 karena Perang Dunia II.
Pada tahun
1940 di Padang Sumatera Barat telah berdiri pula Perguruan Tinggi Islam yang
dipelajari oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Perguruan Tinggi Islam ini
telah membuka dua Fakultas yaitu Fakultas Syari’at (Agama), dan Fakultas
Pendidikan dan Bahasa Arab. Tapi ketika Jepang masuk ke Padang pada tahun 1941
Perguruan Tinggi ini ditutup. Pada tahun 1953 berdiri pula Perguruan Tinggi
Islam dengan nama Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah. Dalam perkembangan
berikutnya Perguruan Tinggi ini dirubah menjadi Universitas Islam Darul Hikmah.
Selain di
Sumatera Barat Perguruan Tinggi Islam juga berkembang di Sumatera Utara dengan
nama Perguruan Tinggi Islam Indonesia Medan yang berdiri pada tahun 1952 yang
berkedudukan di Medan yang pada perkembangan berikutnya berubah menjadi
Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 1956. Disamping itu untuk kawasan
Indonesia bagian Timur tepatnya di Makasar juga telah berdiri Perguruan Tinggi
Islam dengan nama Universitas Muslim Indonesia pada tahun 1954.
Semangat untuk
mendirikan Perguruan Tinggi Islam terus menggelora dikalangan masyarakat Islam.
Masyumi misalnya telah mempelopori untuk mendirikian Perguruan Tinggi Islam,
dan pada bulan April tahun 1945 Masyumi mengadakan rapat di Jakarta yang
menghasilkan keputusan untuk membentuk panitia perencanaan Sekolah Tinggi Islam
yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan sekretarisnya M. Natsir. Setelah disetujui
oleh Pemerintah Jepang, maka Sekolah Tinggi Islam itu secara resmi dibuka pada
tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta.
Ketika terjadi
agresi Belanda ke Indonesia untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai negeri
jajahan mereka, maka Ibukota Negara
Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Seiring dengan
pemindahan Ibukota itu Sekolah Tinggi Islam pun dipindahkan ke Yogyakarta pada
tanggal 10 April 1946, yang pada pembukaan STI itu dihadiri oleh Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
Untuk
meningkatkan efektifitas dan pengembangannya yang lebih luas, muncullah ide untuk
merubah STI menjadi Universitas. Dalam rangka itu dibentuklah panitia
pengembangan STI itu menjadi Universitas pada tahun 1947 yang terdiri dari
Fathurrahman, Kafrawi, Farid Ma’ruf, Kahar Muzakhir dan lain-lain. Keputusan
terpenting dalam kepanitiaan itu adalah merubah STI menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII) dengan membentuk 4 fakultas, yaitu fakultas Agama, Hukum,
Pendidikan, dan Ekonomi yang secara resmi dibuka pada
tanggal 27 Rajab 1367 H bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1948. Dalam perkembangan
selanjutnya fakultas Agama ini di Negerikan oleh pemerintah dan terpisah dari
UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan
Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950 Tanggal 14 Agustus 1950 dan Peresmiannya pada tanggal 26 September 1951.
PTAIN terus mengalami perkembangan
yang cukup signifikan, namun dirasakan bahwa belum mampu menampung keluasan
cakupan ilmu-ilmu ke-Islam-an. Untuk menyahuti aspirasi
masyarakat Islam di Indonesia, pada perkembangan berikutnya muncul ide penggabungan
PTAIN dan ADIA dengan diterbitkannya Peraturan Presiden
Nomor 11 Tahun 1960 Tanggal 9 Mei 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dengan nama Al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. Pada tanggal 24
Agustus 1960 IAIN secara resmi dikukuhkan. IAIN pertama sekali berdiri
dipisahkan menjadi dua, Pertama berpusat di Yogyakarta dan kedua, berpusat di
Jakarta berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 1963 Tanggal 25
Februari 1963.
Sebagai aplikasi dari
pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), maka IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta mengembangkan 16 Fakultas yang tersebar di beberapa tempat seperti:
Banjar Masin, Palembang, Surabaya, Serang, Banda Aceh, Jambi, Padang. Pada
perkembangan selanjutnya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat muslim di
daerah-daerah, maka dikeluarkan Peraturan Presiden nomor 27 tahun 1963 sebagai
pengganti Peraturan Presiden nomor 11 tahun 1960 yang memungkinkan terbentuknya
IAIN di daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Jakarta, dan menurut peraturan
baru itu sekurang-kurangnya 3 jenis Fakultas dapat digabung menjadi satu IAIN.
Sejarah di atas
menggambarkan bahwa betapa semangat ummat Islam untuk memiliki Perguruan Tinggi
Islam yang dapat mengakomodir generasi Islam dalam memperdalam dan menggali
lebih jauh tentang ajaran Islam dan untuk mengembangkan bakat dan kompetensi
dalam menghadapi tantangan kehidupan yang serba tidak menentu perubahannya.
Sejak diundangkannya Peraturan
Presiden Republik Indonesia no 27 tahun 1963, angin segar bagi daerah-daerah di
luar Yogyakarta dan Jakarta untuk mendirikan IAIN. Haidar Putra Daulay
mencatat bahwa sampai dengan tahun 1973 ada 14 IAIN di seluruh Indonesia,
yaitu: IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) berdiri tahun 1960, IAIN Syarif
Hidayatullah (Jakarta) berdiri tahun 1963, IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh) berdiri
tahun 1963, IAIN Raden Fatah (Palembang) berdiri tahun 1964, IAIN Antasari
(Banjar Masin) berdiri tahun 1964, IAIN Alauddin (Ujung Pandang) berdiri tahun
1965, IAIN Sunan Ampel (Surabaya) berdiri tahun 1965, IAIN Imam Bonjol (Padang)
berdiri tahun 1966, IAIN Sultan Thaha Saefuddin (Jambi) berdiri tahun 1967,
IAIN Sunan Gunung Jati (Bandung) berdiri tahun 1968, IAIN Raden Intan (Tanjung
Karang) berdiri tahun 1968, IAIN Walisanga (Semarang) berdiri tahun 1970, IAIN
Sultan Syarif Qosim (Pekanbaru) berdiri tahun 1970, IAIN Sumatera Utara (Medan)
beridiri tahun 1973.
Berbagai upaya terus dilakukan dalam
rangka peningkatan dan perbaikan IAIN, diantaranya upaya peningkatan pendanaan,
peningkatan prasarana dan peranan organisasi, kurikulum, dan peningkatan mutu
dosen.
IAIN terus mengembangkan diri dengan
membuka program pasca sarjana S-2 dan S-3 yang dimulai pada tahun 1982 di IAIN
Jakarta dan tahun 1983 di IAIN Yogyakarta.
Peningkatan dan perubahan di tubuh
IAIN ternyata tidak berhenti sampai disini, gagasan yang berskala lebih besar
bermunculan dengan mengubah IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN).
Gagasan ini pertama kali muncul terkait dengan isu perlunya islamisasi
pengetahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia
ilmu pengetahuan dan teknologi. Islamisasi dimaksud adalah perpaduan antara
ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Dasar pemikiran perubahan institusional
ini adalah dengan menjadi universitas, kemungkinan pengembangan
disiplin-disiplin ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi
kajian Islam yang sudah berkembang.
UIN merupakan wujud perkembangan
paling signifikan dari serangkaian perjuangan kelembagaan PTAIN. Perubahan IAIN
menjadi UIN memiliki implikasi yang luas, baik menyangkut posisi kelembagaan,
peluang pembukaan program studi, persaingan akademik, maupun penghapusan
dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.
Berikut ini adalah beberapa alasan
yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN, diantaranya:
Pertama, adanya perubahan jenis
pendidikan pada Madrasah Aliyah, yang pada masa lalu merupakan sekolah agama
sekarang Madrasah Aliyah merupakan sudah menjadi sekolah umum yang bernuansa
agama. Artinya muatan mata pelajaran umum lebih dominan dan lebih kuat
dibandingkan pada masa sebelumnya. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa di
Madrasah Aliyah sudah memiliki jurusan IPS, IPA dan Bahasa.
Dalam hal ini lulusan
Madrasah Aliyah akan sulit masuk IAIN, apabila IAIN hanya menyediakan jurusan
dan program studi agama saja. Agar lulusan Madrasah Aliyah ini dapat
melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN, maka IAIN harus dirubah menjadi
Universitas. Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN akan membuka peluang
dan kesempatan bagi lulusan Madrasah Aliyah, dan UIN juga membuka kesempatan
bagi lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) untuk belajar di IAIN.
Kedua, adanya dikotomi antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang dapat diatasi antara lain dengan
program integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan cara
merubah IAIN menjadi UIN. Dengan perubahan itu maka dikotomi di atas dapat
dihilangkan, sehingga para mahasiswa yang kuliah di fakultas keagamaan seperti
Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin dan sebagainya, selain mendalami ilmu-ilmu keagamaan
juga diberikan wawasan bidang ilmu-ilmu umum.
Pada saat ini para
sarjana ilmu-ilmu agama asyik dengan dirinya sendiri mengkaji ajaran agama
tanpa bantuan ilmu pengetahuan umum, sehingga hasil kajian tersebut kurang
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan
masyarakat yang semakin maju. Para sarjana ilmu-ilmu agama menjadi sempit ruang
geraknya dan terbatas sekali bidang yang dapat diakses. Mereka semakin
terpinggirkan dan tidak dapat bersaing dengan sarjana dari Perguruan Tinggi
lain. Dilain pihak para sarjana umum juga asyik dengan ilmunya tanpa melihat
hubungannya dengan agama. Ilmu-ilmu yang mereka miliki adalah ilmu-ilmu
sekuler, bebas nilai dan bebas moral. Akibatnya ilmu-ilmu tersebut sangat mudah
digunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan. Melalui perubahan IAIN menjadi
UIN maka dapat dilakukan apa yang disebut sebagai Islamisasi, spiritualisasi
atau integrasi antara ilmu pengetahuan, yaitu upaya saling mendekatkan diri
diantara satu dan yang lainnya. Sarjana ilmu agama diberi wawasan ilmu
pengetahuan umum, dan sarjana ilmu pengetahuan umum diberi wawasan ilmu agama.
Dengan demikian terciptalah intelek yang ulama, dan ulama yang intelek.
Ketiga, perubahan IAIN menjadi
UIN akan memberikan peluang yang lebih luas kepada para lulusannya untuk dapat
memasuki lapangan kerja yang lebih luas. Selama ini para lulusan sarjana IAIN
sebagian besar hanya bekerja dilingkungan Departemen Agama RI atau instansi
lainnya, namun bidang pekerjaannya tetap saja bidang agama. Masih jarang atau
mungkin belum ada sarjana IAIN yang menjadi direktur sebuah Bank, direktur
pertamina, direktur industri, dan jabatan-jabatan strategis non-keagamaan
lainnya. Jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi oleh lulusan
lembaga-lembaga pendidikan tinggi non IAIN, seperti ITB, UGM, UI dan lain
sebagainya. Jabatan-jabatan tersebut nantinya dapat pula diisi oleh para
sarjana IAIN, jika IAIN sudah berubah menjadi UIN.
Keempat, perubahan IAIN menjadi
UIN diperlukan dalam rangka memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk
melakukan mobilitas vertikal, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki medan
gerak yang lebih luas. Para lulusan UIN nantinya tidak akan termarjinalkan
lagi, melainkan akan dapat memasuki wilayah gerak yang lebih bervariasi dan
bergengsi.
Melalui perubahan IAIN
menjadi UIN diharapkan lahirnya ummat Islam sebagai adidaya dan pelopor dalam
gerakan peradaban umat manusia sebagaimana pernah dilakukan umat Islam di abad
klasik.
Kelima, perubahan IAIN menjadi
UIN juga sejalan dengan tuntutan umat Islam yang selain menghendaki adanya
pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi
juga lebih menawarkan banyaknya pilihan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
adanya tuntutan dari era globalisasi yang menghendaki lahirnya manusia-manusia
yang unggul dan mampu merebut peluang dalam situasi dan kondisi yang penuh
tantangan dan kompetitif. Selain itu karena telah terjadi perubahan pada
tingkat ekonomi dan kesejahteraan umat yang semakin baik, menyebabkan mereka
memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mendidik putera-puteri mereka pada
jurusan dan program pendidikan yang secara ekonomi pula menghendaki biaya yang
lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa mereka tidak hanya menghendaki
putera-puteri nya belajar pada bidang studi agama saja, tetapi juga menghendaki
putera-putreinya kuliah pada bidang non-keagamaan.
Disamping lima alasan di
atas, ada permasalahan lain yang melatarbelakangi mendesaknya perubahan IAIN
menjadi UIN. Menurut Abuddin Nata, IAIN sejak tahun 70-an sebenarnya sudah
terdapat jurusan Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Paedagogik dan
sebagainya, tapi lulusan dari jurusan-jurusan itu ternyata tidak setara dengan
lulusan dari fakultas di luar IAIN seperti UI, IPB, ITB dan sebagainya. Hal itu
dikarenakan IAIN bukan Universitas, dan seringkali lulusan jurusan-jurusan umum
dari IAIN tersebut belum diakui oleh masyarakat pada umumnya, dan seringkali
pula mengalami kesulitan ketika akan menggunakan ijazah dari jurusan umum
tersebut. Alasannya karena berasal dari IAIN kendatipun dari jurusan umum, namun gelarnya tetap saja
Sarjana Agama (S.Ag.).
Seiring dengan beberapa
alasan di atas, Azyumardi
Azra, menyatakan dalam sambutannya pada Prosfektus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yaitu: Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada dasarnya bertujuan untuk mendorong usaha reintegrasi
epistemologi keilmuan yang pada
gilirannya menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral Islam terhadap
perkembangan iptek dan sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam secara
proporsional di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, perubahan IAIN
menjadi UIN tampaknya merupakan suatu kebutuhan masyarakat muslim Indonesia
untuk menghapus paradigma dikotomi pendidikan yang selama ini menjadi
kekhawatiran umat Islam. Disisi lain perubahan IAIN menjadi UIN merupakan
langkah maju umat Islam untuk menitipkan generasinya yang unggul ke dalam
sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar