Pages

Ads 468x60px

Sample text

Rabu, 29 Agustus 2012

LONGMARCH TAPAK SUCI





ini photo saya waktu melaksanakan longmarch siswa tapak suci takengon,...
rute yang kami buat mulai dari lapangan gajah putih-bur gayo-one-one-hotel renggali-takengon.
waktu itu, (2001) peserta lumayan. karena saya punya cukup waktu untuk membuka beberapa cabang latihan. seperti cabang UKM Gajah Putih, cabang MAN 2 Takengon, dan Cabang SPK Pemda Takengon.

Minggu, 26 Agustus 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH (Artikel)


Ada lima masalah paling utama yang dihadapi para guru agama dalam pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada sekolah seperti diuraikan berikut :
1. Masalah peserta didik. Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal dari latar belakang 
kehidupan beragama yang berbeda-beda. 
Ada siswa yang berasal dari keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari keluarga yang 
kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga yang tidak peduli dengan agama.
Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang kurang taat atau tidak peduli sama sekali terhadap agama, 
perlu perhatian yang serius. 
Sebab jika tidak, maka anak didik tidak akan peduli terhadap pendidikan agama, lebih parah lagi mereka
menganggap remeh pendidikan agama. Sikap ini akan sangat berbahaya, kendatipun demikian, tentu ada
faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik seperti; minat belajar, keluarga, lingkungan, dan
lain sebagainya.
2.      Masalah lingkungan belajar.
Di era multi peradaban dan tekhnologi dan informasi yang tidak dicegah kebeadaannya menyebabkan semua itu mempengaruhi psikologis lingkungan belajar, baik siswa, tenaga pendidik dan kependidikan serta stekholder setiap lembaga pendidikan.
Pengaruh dari lingkungan belajar yang tidak kondusif ini sangat mempengaruhi minat belajar, dekadensi moral, serta menimbulkan kekhawatiran para orangtua siswa dan masyarakat terhadap pendidikan anak-anak mereka khususnya kebiasaan beragama mereka dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Masalah Kompetensi Guru.
Pada dasarnya guru adalah tenaga pengajar sekaligus tenaga pendidik profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan latihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, Sesuai UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 2. 
Dalam perspektif pendidikan Agama Islam di Sekolah, guru seringkali mengalami kendala dalam menanamkan pembiasaan ajaran Islam di sekolah. Hal ini semata-mata disebabkan karena guru tidak memiliki kempetensi yang matang, serta juga tidak didukung oleh penguasaan konsep internalisasi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum oleh guru-guru bidang studi lainnya.
4.      Masalah Metode.
Metode adalah cara atau strategi bahkan juga pendekatan yang dikuasai pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai.  Banyak sekali metode pendidikan yang dapat dilakukan atau diterapkan dalam menyampaikan pembelajaran pendidikan agama. Tetapi sangat disayangkan bahwa masih banyak guru agama yang tidak menguasai berbagai metode pembelajaran aktif yang sebenarnya bisa dipakai dalam menyajikan pelajaran pendidikan agama. Agar pendidikan agama dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan, maka setiap guru agama harus mengetahui dan menguasai berbagai metode pembelajaran dan pendekatan. Namun pada kenyataannya, pelajaran pendidikan agama di sekolah masih dominan menggunakan metode ceramah.
5.      Masalah evaluasi.
Evaluasi merupakan salah satu kegiatan pembelajaran yang sangat penting. Dengan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat mengukur segi kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Kebanyakan evaluasi yang dilakukan selama ini hanyalah mengukur kognitif siswa saja, sedang afektif dan psikomotoriknya terabaikan. Hasil evaluasi kognitif tersebut dimasukkan ke dalam raport siswa, maka kemungkinan akan terjadi penilaian yang kurang obyektif. Adakalanya siswa yang rajin beribadah lebih rendah nilainya daripada siswa yang malas beribadah. Seharusnya kegiatan evaluasi disusun secara sistematis dan lengkap oleh guru pendidikan agama Islam. Selain tes tulis, tes lisan dan praktik yang dilakukan sebagai alat evaluasi, maka skala sikap diperlukan untuk mengevaluasi sikap beragama peserta didik. Namun kenyataannya masih banyak guru pendidikan agama Islam yang belum menguasai teknik evaluasi pendidikan agama Islam secara benar.

            Mengatasi berbagai masalah yang dihadapi guru agama dalam kegiatan Pendidikan Agama Islam pada sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Guru sebagai pilar penting dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran perlu mendapat perhatian dari semua kalangan, baik pemerintah, tokoh pendidikan serta masyarakat lainnya yang bergerak di bidang pendidikan. Lembaga Pendidikan Tinggi yang mengelola fakultas ilmu keguruan dan pendidikan baik lembaga pendidikan tinggi umum maupun lembaga pendidikan tinggi agama (IAIN) perlu menyiapkan sebuah konsep kurikulum yang bertujuan menyiapkan tenaga pendidik (guru) yang benar-benar siap pakai di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Dewasa ini sangat hangat dibicarakan tentang profesionalisme guru atau yang sering kita dengar dengan sertifikasi guru. Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru merupakan kebijakan fenomenal. Disatu sisi kebijakan tersebut memberikan angin segar bagi para guru karena dengan itu guru menerima penghasilan tambahan satu kali gaji pokok. Tetapi pada kenyataannya, guru yang sudah lulus sertifikasi seringkali tidak melaksanakan tupoksinya secara baik dan bertanggung jawab, sehingga bisa dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tersebut menghabiskan anggaran negara yang begitu besar dan hasilnya tidak maksimal.
Kalaulah pendidikan tinggi dapat mengakomodir kebijakan pemerintah dalam rangka menyiapkan tenaga pendidik profesional, yang dimulai dari seleksi penerimaan mahasiswa baru, proses pendidikan sampai mahasiswa tersebut menyelesaikan studinya benar-benar mengusai bidang-bidang pendidikan yang ditekuninya. Pada akhirnya pendidikan tinggi pun dapat mengeluarkan dan memberikan sertifikat mengajar profesional. Jadi beban pemerintah pun akan berkurang dari segi pembiayaan.
Sebagai penutup dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa keberhasilan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan kegiatan Pendidikan Agama Islam pada sekolah adalah tergantung pada itikad baik dari komponen-komponen terkait seperti Pemerintah, lembaga sekolah, guru, siswa, orang tua dan masyarakat, masing-masing harus memahami tujuan akhir dari pembelajaran pendidikan Islam itu. Dengan demikian apapun kebijakan pemerintah akan dapat direalisasikan di lembaga pendidikan, dan dengan potensi yang matang guru berperan sebagai penyalur minat siswa yang tinggi dan menjadi pendorong terwujudnya sasaran pembelajaran, dukungan orang tua sebagai pengontrol keberhasilan peserta didik di luar lingkungan sekolah, peran serta dan kepedulian masyarakat menjadi wadah evaluasi dalam mengaplikasikan hasil pendidikan Islam.

MEMBERIKAN PENGERTIAN MEDIA PEMBELAJARAN


Secara umum media merupakan kata jamak dari “medium”, yang berarti perantara atau pengantar. Istilah perantara atau pengantar ini digunakan karena fungsi media sebagai perantara atau pengantar suatu pesan dari si pengirim kepada si penerima pesan.
Menurut Rossi dan Breidle, media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah, dan sebagainya. Menurut rossi alat-alat semacam radio dan televisi kalau digunakan dan diprogram untuk pendidikan maka itu juga dapat dikatakan media pembelajaran.
Namun demikian, menurut Gerlach dan Ely, media bukan hanya berupa alat atau bahan saja, akan tetapi hal-hal lain yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi, dalam pengertian ini media bukan hanya alat perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetak, tetapi meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi, dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa atau untuk menambah keterampilan.
Dari dua pengertian diatas, maka tampak pengetian terakhir yang dikemukakan Gerlach lebih luas dibandingkan dengan pengertian yang pertama.
Selain pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa media pengajaran meliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projector, radio, televisi, dan sebagainya. Sedangkan software adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan-bahan cetakan lainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram, dan lain sebagainya.
Itulah beberapa pengertian dari media pembelajaran. Selamat membaca.

Sabtu, 25 Agustus 2012

SEJARAH BERDIRINYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


            Keinginan ummat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. Semangat ini sebagaimana tercantum dalam kongres II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939 dihadiri oleh 25 organisasi Islam anggota MIAI. Salah satu agenda pembahasan kongres itu adalah Perguruan Tinggi Islam dan anggota kongres menyetujui pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Setelah kongres itu selesai, didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang dimulai dari tingkat menengah dengan nama IMS (Islamische Midilbare School) dan tutup pada tahun 1941 karena Perang Dunia II.
              Pada tahun 1940 di Padang Sumatera Barat telah berdiri pula Perguruan Tinggi Islam yang dipelajari oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Perguruan Tinggi Islam ini telah membuka dua Fakultas yaitu Fakultas Syari’at (Agama), dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tapi ketika Jepang masuk ke Padang pada tahun 1941 Perguruan Tinggi ini ditutup. Pada tahun 1953 berdiri pula Perguruan Tinggi Islam dengan nama Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah. Dalam perkembangan berikutnya Perguruan Tinggi ini dirubah menjadi Universitas Islam Darul Hikmah.
Selain di Sumatera Barat Perguruan Tinggi Islam juga berkembang di Sumatera Utara dengan nama Perguruan Tinggi Islam Indonesia Medan yang berdiri pada tahun 1952 yang berkedudukan di Medan yang pada perkembangan berikutnya berubah menjadi Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 1956. Disamping itu untuk kawasan Indonesia bagian Timur tepatnya di Makasar juga telah berdiri Perguruan Tinggi Islam dengan nama Universitas Muslim Indonesia pada tahun 1954.
Semangat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam terus menggelora dikalangan masyarakat Islam. Masyumi misalnya telah mempelopori untuk mendirikian Perguruan Tinggi Islam, dan pada bulan April tahun 1945 Masyumi mengadakan rapat di Jakarta yang menghasilkan keputusan untuk membentuk panitia perencanaan Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan sekretarisnya M. Natsir. Setelah disetujui oleh Pemerintah Jepang, maka Sekolah Tinggi Islam itu secara resmi dibuka pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta.
          Ketika terjadi agresi Belanda ke Indonesia untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan mereka, maka Ibukota  Negara Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Seiring dengan pemindahan Ibukota itu Sekolah Tinggi Islam pun dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946, yang pada pembukaan STI itu dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
            Untuk meningkatkan efektifitas dan pengembangannya yang lebih luas, muncullah ide untuk merubah STI menjadi Universitas. Dalam rangka itu dibentuklah panitia pengembangan STI itu menjadi Universitas pada tahun 1947 yang terdiri dari Fathurrahman, Kafrawi, Farid Ma’ruf, Kahar Muzakhir dan lain-lain. Keputusan terpenting dalam kepanitiaan itu adalah merubah STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membentuk 4 fakultas, yaitu fakultas Agama, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi yang secara resmi dibuka pada tanggal 27 Rajab 1367 H bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1948. Dalam perkembangan selanjutnya fakultas Agama ini di Negerikan oleh pemerintah dan terpisah dari UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950 Tanggal 14 Agustus 1950 dan Peresmiannya pada tanggal 26 September 1951.

PTAIN terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun dirasakan bahwa belum mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu ke-Islam-an. Untuk menyahuti aspirasi masyarakat Islam di Indonesia, pada perkembangan berikutnya muncul ide penggabungan PTAIN dan ADIA dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 Tanggal 9 Mei 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan nama Al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. Pada tanggal 24 Agustus 1960 IAIN secara resmi dikukuhkan. IAIN pertama sekali berdiri dipisahkan menjadi dua, Pertama berpusat di Yogyakarta dan kedua, berpusat di Jakarta berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 1963 Tanggal 25 Februari 1963.
Sebagai aplikasi dari pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), maka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengembangkan 16 Fakultas yang tersebar di beberapa tempat seperti: Banjar Masin, Palembang, Surabaya, Serang, Banda Aceh, Jambi, Padang. Pada perkembangan selanjutnya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat muslim di daerah-daerah, maka dikeluarkan Peraturan Presiden nomor 27 tahun 1963 sebagai pengganti Peraturan Presiden nomor 11 tahun 1960 yang memungkinkan terbentuknya IAIN di daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Jakarta, dan menurut peraturan baru itu sekurang-kurangnya 3 jenis Fakultas dapat digabung menjadi satu IAIN.
Sejarah di atas menggambarkan bahwa betapa semangat ummat Islam untuk memiliki Perguruan Tinggi Islam yang dapat mengakomodir generasi Islam dalam memperdalam dan menggali lebih jauh tentang ajaran Islam dan untuk mengembangkan bakat dan kompetensi dalam menghadapi tantangan kehidupan yang serba tidak menentu perubahannya.
Sejak diundangkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia no 27 tahun 1963, angin segar bagi daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Jakarta untuk mendirikan IAIN. Haidar Putra Daulay mencatat bahwa sampai dengan tahun 1973 ada 14 IAIN di seluruh Indonesia, yaitu: IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) berdiri tahun 1960, IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta) berdiri tahun 1963, IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh) berdiri tahun 1963, IAIN Raden Fatah (Palembang) berdiri tahun 1964, IAIN Antasari (Banjar Masin) berdiri tahun 1964, IAIN Alauddin (Ujung Pandang) berdiri tahun 1965, IAIN Sunan Ampel (Surabaya) berdiri tahun 1965, IAIN Imam Bonjol (Padang) berdiri tahun 1966, IAIN Sultan Thaha Saefuddin (Jambi) berdiri tahun 1967, IAIN Sunan Gunung Jati (Bandung) berdiri tahun 1968, IAIN Raden Intan (Tanjung Karang) berdiri tahun 1968, IAIN Walisanga (Semarang) berdiri tahun 1970, IAIN Sultan Syarif Qosim (Pekanbaru) berdiri tahun 1970, IAIN Sumatera Utara (Medan) beridiri tahun 1973.
Berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka peningkatan dan perbaikan IAIN, diantaranya upaya peningkatan pendanaan, peningkatan prasarana dan peranan organisasi, kurikulum, dan peningkatan mutu dosen.
IAIN terus mengembangkan diri dengan membuka program pasca sarjana S-2 dan S-3 yang dimulai pada tahun 1982 di IAIN Jakarta dan tahun 1983 di IAIN Yogyakarta.
Peningkatan dan perubahan di tubuh IAIN ternyata tidak berhenti sampai disini, gagasan yang berskala lebih besar bermunculan dengan mengubah IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Gagasan ini pertama kali muncul terkait dengan isu perlunya islamisasi pengetahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Islamisasi dimaksud adalah perpaduan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Dasar pemikiran perubahan institusional ini adalah dengan menjadi universitas, kemungkinan pengembangan disiplin-disiplin ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang.
UIN merupakan wujud perkembangan paling signifikan dari serangkaian perjuangan kelembagaan PTAIN. Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki implikasi yang luas, baik menyangkut posisi kelembagaan, peluang pembukaan program studi, persaingan akademik, maupun penghapusan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.
Berikut ini adalah beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN, diantaranya:
Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan pada Madrasah Aliyah, yang pada masa lalu merupakan sekolah agama sekarang Madrasah Aliyah merupakan sudah menjadi sekolah umum yang bernuansa agama. Artinya muatan mata pelajaran umum lebih dominan dan lebih kuat dibandingkan pada masa sebelumnya. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa di Madrasah Aliyah sudah memiliki jurusan IPS, IPA dan Bahasa.
Dalam hal ini lulusan Madrasah Aliyah akan sulit masuk IAIN, apabila IAIN hanya menyediakan jurusan dan program studi agama saja. Agar lulusan Madrasah Aliyah ini dapat melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN, maka IAIN harus dirubah menjadi Universitas. Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN akan membuka peluang dan kesempatan bagi lulusan Madrasah Aliyah, dan UIN juga membuka kesempatan bagi lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) untuk belajar di IAIN.
Kedua, adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang dapat diatasi antara lain dengan program integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan cara merubah IAIN menjadi UIN. Dengan perubahan itu maka dikotomi di atas dapat dihilangkan, sehingga para mahasiswa yang kuliah di fakultas keagamaan seperti Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin dan sebagainya, selain mendalami ilmu-ilmu keagamaan juga diberikan wawasan bidang ilmu-ilmu umum.
Pada saat ini para sarjana ilmu-ilmu agama asyik dengan dirinya sendiri mengkaji ajaran agama tanpa bantuan ilmu pengetahuan umum, sehingga hasil kajian tersebut kurang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat yang semakin maju. Para sarjana ilmu-ilmu agama menjadi sempit ruang geraknya dan terbatas sekali bidang yang dapat diakses. Mereka semakin terpinggirkan dan tidak dapat bersaing dengan sarjana dari Perguruan Tinggi lain. Dilain pihak para sarjana umum juga asyik dengan ilmunya tanpa melihat hubungannya dengan agama. Ilmu-ilmu yang mereka miliki adalah ilmu-ilmu sekuler, bebas nilai dan bebas moral. Akibatnya ilmu-ilmu tersebut sangat mudah digunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan. Melalui perubahan IAIN menjadi UIN maka dapat dilakukan apa yang disebut sebagai Islamisasi, spiritualisasi atau integrasi antara ilmu pengetahuan, yaitu upaya saling mendekatkan diri diantara satu dan yang lainnya. Sarjana ilmu agama diberi wawasan ilmu pengetahuan umum, dan sarjana ilmu pengetahuan umum diberi wawasan ilmu agama. Dengan demikian terciptalah intelek yang ulama, dan ulama yang intelek.
Ketiga, perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang yang lebih luas kepada para lulusannya untuk dapat memasuki lapangan kerja yang lebih luas. Selama ini para lulusan sarjana IAIN sebagian besar hanya bekerja dilingkungan Departemen Agama RI atau instansi lainnya, namun bidang pekerjaannya tetap saja bidang agama. Masih jarang atau mungkin belum ada sarjana IAIN yang menjadi direktur sebuah Bank, direktur pertamina, direktur industri, dan jabatan-jabatan strategis non-keagamaan lainnya. Jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi oleh lulusan lembaga-lembaga pendidikan tinggi non IAIN, seperti ITB, UGM, UI dan lain sebagainya. Jabatan-jabatan tersebut nantinya dapat pula diisi oleh para sarjana IAIN, jika IAIN sudah berubah menjadi UIN.
Keempat, perubahan IAIN menjadi UIN diperlukan dalam rangka memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk melakukan mobilitas vertikal, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki medan gerak yang lebih luas. Para lulusan UIN nantinya tidak akan termarjinalkan lagi, melainkan akan dapat memasuki wilayah gerak yang lebih bervariasi dan bergengsi.
Melalui perubahan IAIN menjadi UIN diharapkan lahirnya ummat Islam sebagai adidaya dan pelopor dalam gerakan peradaban umat manusia sebagaimana pernah dilakukan umat Islam di abad klasik.
Kelima, perubahan IAIN menjadi UIN juga sejalan dengan tuntutan umat Islam yang selain menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi juga lebih menawarkan banyaknya pilihan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya tuntutan dari era globalisasi yang menghendaki lahirnya manusia-manusia yang unggul dan mampu merebut peluang dalam situasi dan kondisi yang penuh tantangan dan kompetitif. Selain itu karena telah terjadi perubahan pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan umat yang semakin baik, menyebabkan mereka memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mendidik putera-puteri mereka pada jurusan dan program pendidikan yang secara ekonomi pula menghendaki biaya yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa mereka tidak hanya menghendaki putera-puteri nya belajar pada bidang studi agama saja, tetapi juga menghendaki putera-putreinya kuliah pada bidang non-keagamaan.
Disamping lima alasan di atas, ada permasalahan lain yang melatarbelakangi mendesaknya perubahan IAIN menjadi UIN. Menurut Abuddin Nata, IAIN sejak tahun 70-an sebenarnya sudah terdapat jurusan Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Paedagogik dan sebagainya, tapi lulusan dari jurusan-jurusan itu ternyata tidak setara dengan lulusan dari fakultas di luar IAIN seperti UI, IPB, ITB dan sebagainya. Hal itu dikarenakan IAIN bukan Universitas, dan seringkali lulusan jurusan-jurusan umum dari IAIN tersebut belum diakui oleh masyarakat pada umumnya, dan seringkali pula mengalami kesulitan ketika akan menggunakan ijazah dari jurusan umum tersebut. Alasannya karena berasal dari IAIN kendatipun  dari jurusan umum, namun gelarnya tetap saja Sarjana Agama (S.Ag.).
Seiring dengan beberapa alasan di atas, Azyumardi Azra, menyatakan dalam sambutannya pada Prosfektus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu: Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada dasarnya bertujuan untuk mendorong usaha reintegrasi epistemologi  keilmuan yang pada gilirannya menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral Islam terhadap perkembangan iptek dan sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam secara proporsional di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN tampaknya merupakan suatu kebutuhan masyarakat muslim Indonesia untuk menghapus paradigma dikotomi pendidikan yang selama ini menjadi kekhawatiran umat Islam. Disisi lain perubahan IAIN menjadi UIN merupakan langkah maju umat Islam untuk menitipkan generasinya yang unggul ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyakat.


PROSPEKTIF UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) (Artikel)


Konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.
UIN dalam penyelenggaraan disiplin keilmuan menawarkan program-program studi SAINTEKHUM (sain, teknologi, dan humaniora). UIN dalam perkembangannya akan mendapatkan pengakuan yang bersifat luas, baik di lingkungan atau kalangan lembaga-lembaga Kementerian Agama maupun di lembaga-lembaga lain, baik negeri maupun swasta, bahkan sampai tingkat internasional sesuai dengan era sekarang yang bersifat global dan penuh kompetisi.
Keunggulan-keunggulan kompetetif merupakan kemampuan-kemampuan yang diunggulkan yang bisa bersaing dengan universitas lain. Kendatipun UIN baru mengembangkan beberapa program-program studi umum, khususnya program studi saintekhum. Artinya diharapkan lulusan-lulusan yang memiliki kemampuan yang diakui secara luas, memiliki kompetensi afektif dan merupakan tantangan yang berat dari suatu kerja keras yang menuntut stekholder UIN untuk benar-benar serius.
Oleh karena itu diharapkan nantinya bisa dielaborasi apa yang dimaksud dengan kemampuan yang diterima secara luas dan apa yang dimaksud dengan memiliki keunggulan program. Ini terlepas dari standar-standar yang ingin dikembangkan. Artinya program-program studi baik yang berkaitan dengan saintekhum ataupun dengan ‘Ulumud Diniyah’ di lingkungan UIN ini. Pada program studi apa saja yang terdapat di UIN, mahasiswanya menguasai minimal kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan Information and Communication Technology (ICT). Kemampuan itu bisa dijadikan standar dan diterima secara luas dan juga memungkinkan untuk ikut kompetisi dalam persaingan global.
Setiap program kelulusan UIN pada program studi apapun, dia harus menguasai dan memiliki kemampuan berkomunikasi lisan maupun tulisan dengan menggunakan bahasa yang digunakan secara global. Dalam hal ini ada dua jenis bahasa yang seharusnya dikuasai oleh semua lulusan UIN. Pertama adalah kemampuan berbahasa Inggris untuk komunikasi dunia global. Kedua kemampuan berbahasa Arab untuk komunikasi dunia Islam. Kalau lulusan UIN ini memiliki standar kemampuan seperti itu, maka UIN akan diterima secara luas karena memiliki nilai-nilai keunggulan kompetitif. 
Pertanyaannya adalah, apa bedanya antara lulusan-lulusan progam studi yang sejenis antara lulusan UIN dan lembaga pendidikan lainnya. Kalau standar tadi dicapai maka perbedaannya adalah kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan tafaqquh fiddien itu. Artinya, UIN pada program studi kedokteran akan menghasilkan lulusan dokter yang memiliki kemampuan-kemampuan bidang kedokteran yang tidak terlalu berbeda dengan lulusan-lulusan kedokteran di lembaga pendidikan lainnya serta memiliki kemampuan-kemampuan yang berkaitan dengan tafaqquh fiddien, kemampuan komunikasi baik dengan lisan atau tulisan maupun dengan bantuan dari teknologi ICT dan berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian pada akhirnya nanti lulusan saintekhum dari UIN itu bisa berkompetisi di masyarakat. Kalau ini dimiliki, maka nilai kompetisinya kuat sekali karena masih banyak para pemakai lulusan (seperti perusahaan-perusahaan) yang menginginkan karyawannya menguasai good skill yang memadai sehingga dia punya kualitas yang tinggi.
Sebagai contoh di UIN Malang telah menemukan dan menerapkan perspektif ilmu yang terintegrasi dan holistik. Perspektif itu secara epistemologi tidak membedakan ataupun memisahkan ilmu agama dan ilmu umum.
Menurut Imam Suprayogo, tidak ada dikotomi atau dualisme, yang ada hanyalah kategori-kategori. Ia membandingkan dengan perguruan tinggi umum untuk mendapatkan kejelasan tentang UIN, perbedaannya dalam mengembangkan keilmuannya terletak pada sumber yang digunakan. Perguruan tinggi umum dalam mengembangkan ilmu serta kebenaran-kebenaran ilmiahnya bersumber pada hasil-hasil riset, observasi, eksperimentasi, dan secara epistimologis mengandalkan kekuatan akal atau rasio. Berbeda dengan itu, UIN menggali kebenaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan selain sebagaimana perguruan tinggi pada umumnya, terlebih dahulu melihat dan mengkaji ayat-ayat qauliyah yakni al-Qur’an dan al-Hadis. UIN mengembangkan ilmu pengetahuannya dengan mengambil dua sumber sekaligus yaitu ayat-ayat qauliyah yakni al-Qur’an dan al-Hadis serta ayat-ayat kauniyyah yang lazim dikenal dengan pendekatan ilmiah (scientific approachs). semoga bermanfaat....