Pages

Ads 468x60px

Sample text

Sabtu, 25 Agustus 2012

SEJARAH BERDIRINYA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)


            Keinginan ummat Islam untuk mendirikan pendidikan tinggi sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. Semangat ini sebagaimana tercantum dalam kongres II MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang diadakan di Solo pada tanggal 2-7 Mei 1939 dihadiri oleh 25 organisasi Islam anggota MIAI. Salah satu agenda pembahasan kongres itu adalah Perguruan Tinggi Islam dan anggota kongres menyetujui pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Setelah kongres itu selesai, didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo yang dimulai dari tingkat menengah dengan nama IMS (Islamische Midilbare School) dan tutup pada tahun 1941 karena Perang Dunia II.
              Pada tahun 1940 di Padang Sumatera Barat telah berdiri pula Perguruan Tinggi Islam yang dipelajari oleh Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Perguruan Tinggi Islam ini telah membuka dua Fakultas yaitu Fakultas Syari’at (Agama), dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Tapi ketika Jepang masuk ke Padang pada tahun 1941 Perguruan Tinggi ini ditutup. Pada tahun 1953 berdiri pula Perguruan Tinggi Islam dengan nama Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah. Dalam perkembangan berikutnya Perguruan Tinggi ini dirubah menjadi Universitas Islam Darul Hikmah.
Selain di Sumatera Barat Perguruan Tinggi Islam juga berkembang di Sumatera Utara dengan nama Perguruan Tinggi Islam Indonesia Medan yang berdiri pada tahun 1952 yang berkedudukan di Medan yang pada perkembangan berikutnya berubah menjadi Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 1956. Disamping itu untuk kawasan Indonesia bagian Timur tepatnya di Makasar juga telah berdiri Perguruan Tinggi Islam dengan nama Universitas Muslim Indonesia pada tahun 1954.
Semangat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Islam terus menggelora dikalangan masyarakat Islam. Masyumi misalnya telah mempelopori untuk mendirikian Perguruan Tinggi Islam, dan pada bulan April tahun 1945 Masyumi mengadakan rapat di Jakarta yang menghasilkan keputusan untuk membentuk panitia perencanaan Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan sekretarisnya M. Natsir. Setelah disetujui oleh Pemerintah Jepang, maka Sekolah Tinggi Islam itu secara resmi dibuka pada tanggal 27 Rajab 1364 H bertepatan tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta.
          Ketika terjadi agresi Belanda ke Indonesia untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai negeri jajahan mereka, maka Ibukota  Negara Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Seiring dengan pemindahan Ibukota itu Sekolah Tinggi Islam pun dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946, yang pada pembukaan STI itu dihadiri oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
            Untuk meningkatkan efektifitas dan pengembangannya yang lebih luas, muncullah ide untuk merubah STI menjadi Universitas. Dalam rangka itu dibentuklah panitia pengembangan STI itu menjadi Universitas pada tahun 1947 yang terdiri dari Fathurrahman, Kafrawi, Farid Ma’ruf, Kahar Muzakhir dan lain-lain. Keputusan terpenting dalam kepanitiaan itu adalah merubah STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membentuk 4 fakultas, yaitu fakultas Agama, Hukum, Pendidikan, dan Ekonomi yang secara resmi dibuka pada tanggal 27 Rajab 1367 H bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1948. Dalam perkembangan selanjutnya fakultas Agama ini di Negerikan oleh pemerintah dan terpisah dari UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1950 Tanggal 14 Agustus 1950 dan Peresmiannya pada tanggal 26 September 1951.

PTAIN terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun dirasakan bahwa belum mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu ke-Islam-an. Untuk menyahuti aspirasi masyarakat Islam di Indonesia, pada perkembangan berikutnya muncul ide penggabungan PTAIN dan ADIA dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 Tanggal 9 Mei 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dengan nama Al-Jami'ah al-Islamiyah al-Hukumiyah. Pada tanggal 24 Agustus 1960 IAIN secara resmi dikukuhkan. IAIN pertama sekali berdiri dipisahkan menjadi dua, Pertama berpusat di Yogyakarta dan kedua, berpusat di Jakarta berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 49 Tahun 1963 Tanggal 25 Februari 1963.
Sebagai aplikasi dari pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), maka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengembangkan 16 Fakultas yang tersebar di beberapa tempat seperti: Banjar Masin, Palembang, Surabaya, Serang, Banda Aceh, Jambi, Padang. Pada perkembangan selanjutnya untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat muslim di daerah-daerah, maka dikeluarkan Peraturan Presiden nomor 27 tahun 1963 sebagai pengganti Peraturan Presiden nomor 11 tahun 1960 yang memungkinkan terbentuknya IAIN di daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Jakarta, dan menurut peraturan baru itu sekurang-kurangnya 3 jenis Fakultas dapat digabung menjadi satu IAIN.
Sejarah di atas menggambarkan bahwa betapa semangat ummat Islam untuk memiliki Perguruan Tinggi Islam yang dapat mengakomodir generasi Islam dalam memperdalam dan menggali lebih jauh tentang ajaran Islam dan untuk mengembangkan bakat dan kompetensi dalam menghadapi tantangan kehidupan yang serba tidak menentu perubahannya.
Sejak diundangkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia no 27 tahun 1963, angin segar bagi daerah-daerah di luar Yogyakarta dan Jakarta untuk mendirikan IAIN. Haidar Putra Daulay mencatat bahwa sampai dengan tahun 1973 ada 14 IAIN di seluruh Indonesia, yaitu: IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta) berdiri tahun 1960, IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta) berdiri tahun 1963, IAIN Ar-Raniry (Banda Aceh) berdiri tahun 1963, IAIN Raden Fatah (Palembang) berdiri tahun 1964, IAIN Antasari (Banjar Masin) berdiri tahun 1964, IAIN Alauddin (Ujung Pandang) berdiri tahun 1965, IAIN Sunan Ampel (Surabaya) berdiri tahun 1965, IAIN Imam Bonjol (Padang) berdiri tahun 1966, IAIN Sultan Thaha Saefuddin (Jambi) berdiri tahun 1967, IAIN Sunan Gunung Jati (Bandung) berdiri tahun 1968, IAIN Raden Intan (Tanjung Karang) berdiri tahun 1968, IAIN Walisanga (Semarang) berdiri tahun 1970, IAIN Sultan Syarif Qosim (Pekanbaru) berdiri tahun 1970, IAIN Sumatera Utara (Medan) beridiri tahun 1973.
Berbagai upaya terus dilakukan dalam rangka peningkatan dan perbaikan IAIN, diantaranya upaya peningkatan pendanaan, peningkatan prasarana dan peranan organisasi, kurikulum, dan peningkatan mutu dosen.
IAIN terus mengembangkan diri dengan membuka program pasca sarjana S-2 dan S-3 yang dimulai pada tahun 1982 di IAIN Jakarta dan tahun 1983 di IAIN Yogyakarta.
Peningkatan dan perubahan di tubuh IAIN ternyata tidak berhenti sampai disini, gagasan yang berskala lebih besar bermunculan dengan mengubah IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Gagasan ini pertama kali muncul terkait dengan isu perlunya islamisasi pengetahuan dalam rangka menutupi kehampaan mental dan spiritual dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Islamisasi dimaksud adalah perpaduan antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum. Dasar pemikiran perubahan institusional ini adalah dengan menjadi universitas, kemungkinan pengembangan disiplin-disiplin ilmu umum dapat dilakukan dan dapat dipadukan dengan tradisi kajian Islam yang sudah berkembang.
UIN merupakan wujud perkembangan paling signifikan dari serangkaian perjuangan kelembagaan PTAIN. Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki implikasi yang luas, baik menyangkut posisi kelembagaan, peluang pembukaan program studi, persaingan akademik, maupun penghapusan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum.
Berikut ini adalah beberapa alasan yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN, diantaranya:
Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan pada Madrasah Aliyah, yang pada masa lalu merupakan sekolah agama sekarang Madrasah Aliyah merupakan sudah menjadi sekolah umum yang bernuansa agama. Artinya muatan mata pelajaran umum lebih dominan dan lebih kuat dibandingkan pada masa sebelumnya. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa di Madrasah Aliyah sudah memiliki jurusan IPS, IPA dan Bahasa.
Dalam hal ini lulusan Madrasah Aliyah akan sulit masuk IAIN, apabila IAIN hanya menyediakan jurusan dan program studi agama saja. Agar lulusan Madrasah Aliyah ini dapat melanjutkan pendidikan tinggi di IAIN, maka IAIN harus dirubah menjadi Universitas. Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN akan membuka peluang dan kesempatan bagi lulusan Madrasah Aliyah, dan UIN juga membuka kesempatan bagi lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) untuk belajar di IAIN.
Kedua, adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang dapat diatasi antara lain dengan program integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan cara merubah IAIN menjadi UIN. Dengan perubahan itu maka dikotomi di atas dapat dihilangkan, sehingga para mahasiswa yang kuliah di fakultas keagamaan seperti Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin dan sebagainya, selain mendalami ilmu-ilmu keagamaan juga diberikan wawasan bidang ilmu-ilmu umum.
Pada saat ini para sarjana ilmu-ilmu agama asyik dengan dirinya sendiri mengkaji ajaran agama tanpa bantuan ilmu pengetahuan umum, sehingga hasil kajian tersebut kurang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan masyarakat yang semakin maju. Para sarjana ilmu-ilmu agama menjadi sempit ruang geraknya dan terbatas sekali bidang yang dapat diakses. Mereka semakin terpinggirkan dan tidak dapat bersaing dengan sarjana dari Perguruan Tinggi lain. Dilain pihak para sarjana umum juga asyik dengan ilmunya tanpa melihat hubungannya dengan agama. Ilmu-ilmu yang mereka miliki adalah ilmu-ilmu sekuler, bebas nilai dan bebas moral. Akibatnya ilmu-ilmu tersebut sangat mudah digunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan. Melalui perubahan IAIN menjadi UIN maka dapat dilakukan apa yang disebut sebagai Islamisasi, spiritualisasi atau integrasi antara ilmu pengetahuan, yaitu upaya saling mendekatkan diri diantara satu dan yang lainnya. Sarjana ilmu agama diberi wawasan ilmu pengetahuan umum, dan sarjana ilmu pengetahuan umum diberi wawasan ilmu agama. Dengan demikian terciptalah intelek yang ulama, dan ulama yang intelek.
Ketiga, perubahan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang yang lebih luas kepada para lulusannya untuk dapat memasuki lapangan kerja yang lebih luas. Selama ini para lulusan sarjana IAIN sebagian besar hanya bekerja dilingkungan Departemen Agama RI atau instansi lainnya, namun bidang pekerjaannya tetap saja bidang agama. Masih jarang atau mungkin belum ada sarjana IAIN yang menjadi direktur sebuah Bank, direktur pertamina, direktur industri, dan jabatan-jabatan strategis non-keagamaan lainnya. Jabatan-jabatan tersebut hanya dapat diisi oleh lulusan lembaga-lembaga pendidikan tinggi non IAIN, seperti ITB, UGM, UI dan lain sebagainya. Jabatan-jabatan tersebut nantinya dapat pula diisi oleh para sarjana IAIN, jika IAIN sudah berubah menjadi UIN.
Keempat, perubahan IAIN menjadi UIN diperlukan dalam rangka memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk melakukan mobilitas vertikal, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki medan gerak yang lebih luas. Para lulusan UIN nantinya tidak akan termarjinalkan lagi, melainkan akan dapat memasuki wilayah gerak yang lebih bervariasi dan bergengsi.
Melalui perubahan IAIN menjadi UIN diharapkan lahirnya ummat Islam sebagai adidaya dan pelopor dalam gerakan peradaban umat manusia sebagaimana pernah dilakukan umat Islam di abad klasik.
Kelima, perubahan IAIN menjadi UIN juga sejalan dengan tuntutan umat Islam yang selain menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi juga lebih menawarkan banyaknya pilihan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya tuntutan dari era globalisasi yang menghendaki lahirnya manusia-manusia yang unggul dan mampu merebut peluang dalam situasi dan kondisi yang penuh tantangan dan kompetitif. Selain itu karena telah terjadi perubahan pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan umat yang semakin baik, menyebabkan mereka memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mendidik putera-puteri mereka pada jurusan dan program pendidikan yang secara ekonomi pula menghendaki biaya yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa mereka tidak hanya menghendaki putera-puteri nya belajar pada bidang studi agama saja, tetapi juga menghendaki putera-putreinya kuliah pada bidang non-keagamaan.
Disamping lima alasan di atas, ada permasalahan lain yang melatarbelakangi mendesaknya perubahan IAIN menjadi UIN. Menurut Abuddin Nata, IAIN sejak tahun 70-an sebenarnya sudah terdapat jurusan Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Paedagogik dan sebagainya, tapi lulusan dari jurusan-jurusan itu ternyata tidak setara dengan lulusan dari fakultas di luar IAIN seperti UI, IPB, ITB dan sebagainya. Hal itu dikarenakan IAIN bukan Universitas, dan seringkali lulusan jurusan-jurusan umum dari IAIN tersebut belum diakui oleh masyarakat pada umumnya, dan seringkali pula mengalami kesulitan ketika akan menggunakan ijazah dari jurusan umum tersebut. Alasannya karena berasal dari IAIN kendatipun  dari jurusan umum, namun gelarnya tetap saja Sarjana Agama (S.Ag.).
Seiring dengan beberapa alasan di atas, Azyumardi Azra, menyatakan dalam sambutannya pada Prosfektus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu: Perubahan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada dasarnya bertujuan untuk mendorong usaha reintegrasi epistemologi  keilmuan yang pada gilirannya menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Hal ini penting dalam rangka memberikan landasan moral Islam terhadap perkembangan iptek dan sekaligus mengartikulasikan ajaran Islam secara proporsional di dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, perubahan IAIN menjadi UIN tampaknya merupakan suatu kebutuhan masyarakat muslim Indonesia untuk menghapus paradigma dikotomi pendidikan yang selama ini menjadi kekhawatiran umat Islam. Disisi lain perubahan IAIN menjadi UIN merupakan langkah maju umat Islam untuk menitipkan generasinya yang unggul ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar