Pages

Ads 468x60px

Sample text

Senin, 20 Agustus 2012

HADIS DAN ULUMUL HADIS


Hadits merupaan sumber hukum Islam setelah al Qur’an. Hadits menjelaskan Al Qur’an dari berbagai segi, menjelaskan ibadah dan hukum yang bersifat global dan menguraikan hukum-hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit di dalam al Qur’an. Dengan demikian, hadits merupajkan tuntunan praktis terhadap apa yang dibawa oleh Al Qur’an, terkadang merupakan amalan yang tidak ditentang oleh Nabi tetapi hanya diam atau justru melihat baik ( taqdir )
Pentingnya hadits dalam menetapkan hukum mengharuskan para ulama lebih teliti dan hati-hati dalam mengutip hadits. Oleh karena itu, untuk menelusuri keadaan suatu hadits maka lahirlah suatu ilmu yang mempelajari hadits yang di sebut Ulumul Hadits. Dalam ulumul hadits akan dikaji dan dibahas bagaimana kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan perawi, matan, sanad suatu hadits dar segi diterima atau ditolaknya hadits tersebut.
Didasari pada pentingnya pembahasan tentang hadits, makalah ini bertujuan untuk mengkaji secara singkat tentang hakikat hadits, cara mempelajari hadits, fungsi hadits atau kegunaan suatu hadits dapat memberi konstribusi tentang pembahasan hadits.
 Pengertian Hadits
Secara bahasa hadits berarti perkataan, percakapan, kabar, cerita dan yang baru.[1] Atau tiap bahan  pembicaraan yang termasuk perkataaan ( kalam )) dan berita (khabar).[2] Pemakaian kata hadits dengan makna jidid ( yang baru ), atau qarib ( yang dekat ) digunakan dalam bentuk kata sifat. Dalam bahasa Arab hadits berasal dari kata hadatsa, yahdutsu, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut dapat berarti al- Jadid min al- asy ya’, sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al Qadim yang artinya sesuatu yang kuno atau klasik. Penggunaan kata al hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina dengan arti jaded al bina artinya bangunan baru.[3]
Selanjutnya, hadits dilihat dari segi istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal in antara lain disebabka karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama hadits berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama hadits lainnya seperti al-Thiby berpendapat bahwa hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, ketetapan asulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataa, perbuat, ketetapan para sahabat tabi’in.[4] adapun menurut Syarah al- Bukhari seperti dikutip oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy hadits adalah :
“ segala ucapan Nabi, segala pebuatan beliau dan segala keadaan beliau”.”[5]
Ulama ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan ahli fiqh mengidentifikasikan hadits dengan sunnah, yaitu sebagai salah satu dari hukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak aka disiksa. Dalam kaitan ini ulam ahli fiqh berpendapat bahwa hadits adalah sifat syar’iyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya, akan tetapi tuntutan melaksanakannnya tidak secara pasti, sehingga diberi pahala orang yang mengerjakannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Dalam pembahasan hadits, ada beberapa istilah lan yang digunakan untuk menunjukkan penyebutan suatu hadits, seperti al-sunnah, al-akhbar, dan al-atsar.
Secara bahasa sunnah berarti jalan yang dijalani, terpuji atau tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.[6] Menurut istilah,
“ Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan ( diterima ) dari rasulullah SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlak, atau kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, seperti tahanuts yang beliau lakukan di gua Hira’, atau sesudah kerasulan beliau”.”[7]
Secara bahasa khabar berarti al-naba’, yaitu berita atau warta berita yang disampaikan dari sesorang kepada seseorang.[8] Sedangkan menurut istilah, terdapat tiga pendapat, yaitu :
a.       Khabar adalah sinonim dari hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat.
b.      Khabar berbeda dengan hadits. Hadits adalah sesuatu yang dating dari Nabi SAW. Atas dasar pendapat ini, mak seoang ahli hadits atau ahli sunah disebut dengan muhaddits, sedangkan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut dengan akhbari.
c.       Khabar lebih umum dari pada hadits. Hadits adalah sesuatu yang muncul dari Nabi, sedangkan Khabar adalah sesuatu yang dating dari Nabi SAW atau selain Nabi ( orang lain ).[9]
Secara bahasa Atsar berarti baqiyyat al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan sesuatu.[10] Sedangkan secara istilah terdapat dua paendapat, yaitu:
  1. Atsar adalah sinonim dari hadits, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.
  2. Pendapat kedua menyatakan, atsar adalah berbeda dengan hadits.[11] Atsar secara istilah menurut pendapat kedua ini adalah :
“ Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’in yang terdiri atas perkataan dan perbuatan “.
Adapun yang lazim dan sering dipakai adalah istilah hadits sebagaimana dalam ayat alqur’an lebih banyak menggunakan kata hadits. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an
“ Allah telah maenurunkan perkataan yang paling baik ( yaitu ) al Qur’an…….” ( az Zumar : 23 )
Bentuk – bentuk hadits
Secara garis besar hadits dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : hadits qauli, hadits fi’li, dan hadits taqriri.
  1. Hadits Qauli
Yang dimaksud dengan hadits ini yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah, maupun akhlak.[12]
Contoh hadits qauli
“ Sebaik-baiknya kamu, adalah yang belajar al Qur’an  dan mengajarkannya kepada orang lain”. ( H.R. Bukhari )
Hadits qauli dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu :
    1. yang pasti benarnya, seperti apa yang dating dari Allah, Rasul-Nya dan hadits yang diberikan denga jalan mutawatir
    2. yang pasti tidak benarnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenakan oleh akal, seperti khabar hidup dan mati dapat berkumpul. Atau khabar yang betentangan denga ketentuan syari’at, sepeti mengakui menjadi Rasul yang tidak ada kenyataan mukjizat.
    3. Khabar yang dapat dipastikan benar bohongya seperti khabar-khabar yang samara, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya tetapi tidak pasti (qath’i), seperti  dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasiq.
  1. Hadits Fi’li
Yang dimaksud dengan hadits fi’li, adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perbuatan Nabi SAW yang menjadi panutan prilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua ummat untuk mengikutinya.[13] Contoh hadits fi’li :
“Nabi SAW shalat di atas tunggangannya, ke mana saja tunggangannya itu mengahadap”. (H.R. Mutafaq ‘Alaih )
Hadits fi’li dapat dibagi kepada beberapa bagian yaitu :
a.       Pekerjaan Nabi SAW yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti bernafas, duduk berjalan, dsb. Perbuatan semacam ini tidak tersangkut paut dengan soal hukum dan tidak ada hubungannya dengan suruhan, larangan atau tauladan.
b.      Perbuatan Nabi yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan, tidur dan sebagainya
c.       Perbuatan nabi yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengkutiya
d.      Pekerjaan yang bersifat hukum yang mujmal, seperti: shalat dan hajinya
e.       Pekerjaan yang dilakukan terhadap orang lain sebagai hukuman : seperti meahan orang, atau mengusahakan milik orang lain
f.       Pekerjaan yang menujukkan kebolehan saja, seperti berwudlu dengan satu kali, dua kali dan tiga kali.
  1. Hadits Taqriri
Yang dimaksud dengan hadits ini ialah yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang dating atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan , apakah beliau membenarkan atau memersalahkannya.
Contoh hadits Taqriri, ialah sikap rasul membiarkan para sahabatnya dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yang tersembunyi :
“ Janganlah seorangpun shalat Asha kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (H.R. Bukhari)
Maka perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu sama saja dengan perkataan dan pebuatan nabi sendiri, yaitu dapat menjadi hujjah bag ummat seluruhnya. Seperti yang terdapat dalam syarat taqrir ialah orang yang di biarkannya itu benar-benar orang yang tunduk kepada syara’, bukan orang kafir atau munafiq.
Baik sobat semua,…lain waktu kita sambung lagi ya…..


[1].Ahmad Warson Munawwar, Kamus Al Munawwir (Yogyakarta : Badan Pengadaan buku-buku ilmiah Pon-pes Krapyak, 1984), h. 261
[2].Ibrahim Anis et. Al., al –Mu’jam al – Wasit, juz 1 (Beirut : Dar al Fikr, tt), h. 160
[3] .Abudin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 234
[4] . Ibid , h. 236
[5] . M. hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta : Bulan Bintang, 1954), h. 22
[6] . Ibid, h. 24
[7] . Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, ( Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 41
[8] . M. Hasbi as Shiddieqy…h. 45
[9] . Nawir Yuslem…h. 45
[10] . Ibid
[11] . Ibid, h. 46
[12] . Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 12
[13] . Ibid., h. 13-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar